Sabtu, 28 April 2012

[inti-net] Sindrom “Penyakit Belanda”

 

Refl: Siapa berkuasa dialah yang menentukan politik ekonomi negara! Jika
"penyakit Belanda" dipraktekan pada zaman Hindia Belanda, maka zaman tidak
berobah, hanya bendera merah putih biru hilang warna birunya.

http://www.ambonekspres.com/index.php?option=read&cat=42&id=38038

SABTU, 27 April 2012 |

Sindrom "Penyakit Belanda"
Muhammad Syarkawi Rauf, (Regional Chief Economist BNI/Kepala Lembaga
Pengkajian Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Unhas)

"Penyakit Belanda" atau "Dutch Deseas" adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran,
khususnya tambang yang tidak diikuti oleh berkembangnya sektor manufaktur.

Tambang migas dan non migas mengalami over exploitation tanpa diikuti
berkembangnya sektor industri di suatu negara atau daerah.

Sindrom "penyakit Belanda" banyak ditemukan dalam kasus eksplotasi SDA di
luar Jawa, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Daerah
yang mengalami eksploitasi tambang paling parah adalah Kalsel dengan batu
bara-nya, Kaltim dengan gas dan batu bara, Papua dengan tambang
tembaganya, dan Sulsel dengan nikel-nya.

Tidak bisa dipungkiri, sekitar 70 persen output perekonomian Papua
disumbangkan oleh hanya satu perusahaan pertambangan, yaitu PT Freeport.
Sementara kontribusi industri pengolahan masih relatif kecil atau bahkan
mengalami deteorisasi. Pertumbuhan sektor pertambangan jauh lebih besar
dibandingkan sektor industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustry).

Demikian juga dengan Sulawesi, khususnya Sulsel dan Sultra yang
mengandalkan komoditas pertambangan nikel. Perusahaan nikel terbesar di
Sulsel adalah PT Inco dengan konsesi lahan yang sangat luas dan berjangka
panjang. Ekspor utama Sulsel ke sejumlah negara dalam beberapa tahun
terakhir sangat bergantung pada satu komoditas saja, yaitu nikel.

Perekonomian Sulsel belum juga bergerak ke resources based industry
(industri berbasis SDA). Secara sektoral perekonomian Sulsel masih sangat
didominasi oleh sektor perdagangan dan pertanian. Sektor industri
pengolahan masih tercecer di belakang dan bahkan mengalami proses
pelambatan dengan pertumbuhan yang lebih kecil dibanding sektor lainnya.

Kecenderungan yang lebih parah lagi terjadi di Kaltim, yaitu eksploitasi
tambang besar-besaran hanya menyisakan problem lingkungan yang serius.
Banyak yang memprediksi bahwa suatu saat Kaltim akan menjadi daerah miskin
ketika rezeki migas sudah mulai menipis. Pemerintah lalai atau alpa dalam
menggerakkan sektor industri manufakturnya.

Luar Jawa Berkembang?
Fenomena deindustrialisasi terjadi secara nasional. Hampir semua daerah
mengalami kemunduran dalam sektor industri pengolahannya. Pertumbuhan
sektor industri melambat karena dunia usaha lebih senang mengimpor barang
jadi dibanding memproduksi sendiri di dalam negeri. Ditambah lagi produsen
yang lebih senang menjual komoditas pertanian dan pertambangan gelondongan
dibanding memberikan nilai tambah tinggi.

Di tengah proses deindustrialisasi terdapat berita gembira karena pada
kwartal pertama 2012 realisasi investasi mengalami peningkatan secara year
on year (yoy). Tidak hanya itu, kecenderungan positif juga terjadi karena
distribusi investasi sudah lebih merata antara Jawa dengan luar Jawa.

Saat ini, dari sekitar Rp71,0 triliun realisasi investasi secara nasional,
sekitar Rp33,60 triliun atau sekitar 47,20 persen terdapat di luar Jawa.
Sisanya sekitar 51,80 persen terdapat di pulau Jawa. Meskipun Jawa masih
sangat dominan tetapi kecenderungan seperti ini seharusnya dapat menjadi
signal positif untuk segera merelokasi industri ke luar Jawa.

Namun jika data-data investasi dipelototi secara lebih detail lagi,
ternyata realisasi investasi terbesar di luar Jawa didominasi sektor
pertambangan dan perkebunan. Kedua jenis invesatsi ini terkonsentrasi di
Sumatera yang menyerap sekitar Rp12,10 triliun atau sekitar 17 persen.
Investasi ke Sulawesi hanya sekitar Rp5,2 triliun, dan yang terkecil
adalah Maluku–Papua yang hanya sekitar Rp0,7 triliun.

Pertumbuhan investasi yang tinggi bukan sebagai prestasi pemerintah karena
tidak sesuai rencana pemerintah sendiri yang akan menggerakkan sektor
industri pengolahan. Kecenderungan ini juga bertentangan program
pemerintah yang akan mempercepat relokasi industri ke luar Jawa.

Fenomena di atas juga bertentangan dengan semangat Master Plan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berorientasi pada
nilai tambah. Investasi sektor pertambangan dan perkebunan di luar Jawa
tidak sejalan dengan doktrin MP3EI yang menganut prinsip pertumbuhan yang
digerakkan oleh inovasi (innovation driven economy).

Jalan Keluar
Aliran investasi ke sektor pertambangan dan perkebunan di luar Jawa dan ke
sektor industri ke pulau Jawa akan membuat program pemerintah mengalami
kegagalan, khususnya terkait komitmen mempercepat proses industrialisasi
di luar Jawa. Sulit merealisasikan rencana pemerintah untuk menempatkan
Jawa hanya sebagai innovation centre atau pusat R dan D.

Pola penyebaran investasi baik investasi dalam negeri maupun foreign
direct investment (FDI) semakin memperkuat sindrom "penyakit Belanda" di
Indonesia. Di mana sekitar Rp21,50 triliun realisasi investasi ke KTI
hanya terkonsentrasi di sektor pertambangan. Sulawesi yang kebagian Rp5,1
triliun juga didominasi investasi pertambangan.

Idealnya, investasi ke luar Jawa diarahkan pada infrastruktur dasar dan
resources based industry. Pemerintah bisa mengendalikannya secara langsung
tidak hanya dengan membuat aturan mengenai bea keluar ekspor SDA non
olahan yang tinggi. Pengendalian bisa dimulai dari sejak awal penerbitan
izin investasinya, yaitu memprioritaskan izin investasi yang disertai oleh
industri pengolahannya di luar Jawa, khususnya KTI.

Jalan keluarnya adalah hilirisasi komoditas utama di setiap pulau atau
merujuk pada MP3EI pada setiap koridor ekonomi. Hilirisasi adalah kegiatan
mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi yang langsung bisa dijual ke end
user atau konsumen akhir. Pemerintah tidak boleh hanya berada pada rantai
produksi dengan nilai tambah rendah, seperti produk intermediate.

Hilirisasi komoditas utama nasional juga harus berhati-hati. Pembangunan
yang terlalu berorientasi pada nilai tambah dapat melahirkan masalah baru,
khususnya yang terkait ownership dari industrinya. Sebab tidak ada gunanya
pemerintah ngotot membangun industri, misalnya pengolahan nikel tetapi
mematikan pengusaha nikel lokal.

Peralihan ownership akan berdampak negatif jika pada akhirnya industri
pengolahan SDA dimiliki asing. Perusahaan pertambangan asing lebih mampu
berinvestasi di industri pengolahan nikelnya dan juga komoditas strategis
lainnya. Akhirnya, tidak ada gunanya jika usaha pemerintah menghindari
jebakan "penyakit Belanda" hanya membuat usaha kecil kehilangan
kepemilikan. Di sinilah seninya memerintah. Semoga sukses. (*)
--
I am using the free version of SPAMfighter.
We are a community of 7 million users fighting spam.
SPAMfighter has removed 679 of my spam emails to date.
Get the free SPAMfighter here: http://www.spamfighter.com/len

The Professional version does not have this message

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com


*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
.

__,_._,___

ads

Ditulis Oleh : Gadget News and Reviews Hari: 17.34 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar