Senin, 21 Mei 2012

[inti-net] Jangan Hormati Koruptor

 

Ref: Di NKRI agak sulit untuk tidak menghormati koruptor, karena pada umumnya koruptor adalah para petinggi negara di semua lapangan dan tingkat kekuasaan negara, baik di pusat kekuasaan sampai ke cabang-cabang dan ranting-rantingya di pelosok. Kalau mereka tidak dihormati dibilang tidak tahu adat timur, di sebelah timur belahan bumi ada banyak negeri dan bangsa. Lebih celaka, kalau yang anti korupsi diputarbalikan oleh propaganda rezim kleptokrasi menjadi anggota organisasi GPK.

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/08/49604/jangan_hormati_koruptor/

Selasa, 08 Mei 2012 00:02 WIB

Jangan Hormati Koruptor
Oleh : Nur Huda.

Mallam Nuhu Ribadu, Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, pernah berkata: "Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat "trickle down effect" (Tempo, 16/9/2007).
Bagaimana dengan Indonesia?

Bila melihat keadaan di Indonesia, maka bisa dikatakan bahwa hukum di Indonesia memanjakan para koruptor. Dibandingkan kasus pidana lain, pelaku pidana korupsi hanya mendapatkan vonis yang ringan.

Terdakwa pidana korupsi yang mendapatkan hukuman yang berat baru satu yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, yakni Jaksa Urip Tri Gunawan. Sedangkan yang lainnya, hukumannya jauh lebih ringan. Coba saja bila melihat Artalyta Suryani yang menyogok Jaksa Urip hanya dihukum penjara selama lima tahun. Ditambah lagi kejadian-kejadian kasus korupsi setelahnya yang semakin menegaskan betapa lemahnya pengadilan negeri dan betapa memanjanya badan hukum ini terhadap para koruptor.

Lihatlah Gayus, yang resmi menjadi terpidana 20 Januari lalu. Sudah puluhan kali keluar masuk rutan dan membuat kepala rutan dicopot dari jabatan, sempat jalan-jalan pula ke Bali, China, Singapura, dan Malaysia (dan entah ke mana lagi, yang belum terungkap). Untuk bisa beranjangsana ke mancanegara, dia telah membuat paspor asli tapi palsu yang sempat membuat sejumlah pihak terkait di negara ini seperti kebakaran jenggot. Dalam salah satu sidang di pengadilan, Gayus bahkan sempat menawarkan diri menjadi penasihat ahli di institusi pemberantasan korupsi negara ini. Tak lama setelah vonis hakim dibacakan, dia menyempatkan diri "bernyanyi" di depan pers seraya menyebut sejumlah pihak yang menurut ikut bersalah.

Kemudian, Soni Laksono. Seberapa besar harta yang masih dimiliki dan yang sudah disita atau dibekukan negara. Yang jelas, untuk semua kesalahan yang sudah diperbuat, dia hanya divonis tujuh tahun. Ringan betul. Terlalu jauh beda dibandingkan dengan 20 tahun yang dituntut jaksa. Sungguh aneh negara hukum ini.

Lalu Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar, yang berstatus terdakwa korupsi dan ditahan di LP Cipinang, toh masih dilantik sebagai Wali Kota Tomohon di Kantor Menteri Dalam Negeri, 7 Januari lalu. Dari hotel prodeo itu, dia dengan wibawa melantik sejumlah staf ahli di instansi pemerintah daerah yang dipimpin. Sungguh kacau dan paradoks. Melantik abdi negara di tempat dimana negara justru menjebloskan orang-orang yang bersalah ke dalamnya.

Muhammad Nazaruddin, terdakwa kasus suap Wisma Atlet, Muhammad hanya dikenakan pasal gratifikasi. Padahal, masih ada aliran dana lain yang lebih besar. Muhammad Yusuf, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyayangkan ketika mengetahui Nazaruddin hanya didakwa menerima suap sebesar Rp4,6 miliar agar memenangkan PT Duta Graha Indah dalam proyek Wisma Atlet SEA Games. Padahal, PPATK menemukan sejumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp10 miliar dan laporan transaksi keuangan tunai senilai Rp100 miliar di perusahaan yang terlibat dalam kasus tersebut (metrotvnews.com. 8/02/2012).

Hal yang sama juga ketika tersangka kasus Wisma Atlit, Angelina Sondakh atau Angie berkantor kembali ke gedung DPR RI setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal seharusnya Angie sudah selayaknya ditahan. KPK hanya bisa berkomentar bahwa berkasnya belum selesai dan pihak KPK hanya berdalih bahwa bila Angie terburu-buru ditahan lalu lewat masa penahanannya, maka Angie bisa bebas begitu saja.

Ditambah lagi dengan banyaknya kasus lain yang terkesan lamban dan memanja para koruptor seperti kasus Nunung Nurbaeti, dan kasus Bank Century.

Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2012 sendiri mencatat terdapat 17 dari 33 pimpinan daerah tingkat I atau Gubernur berstatus tersangka korupsi. Kasus terakhir yang baru diselesaikan adalah rencana penonaktifan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin, diduga terlibat korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp23 miliar.

Mungkin inilah ekses dari ketidaktegasan negara terhadap para koruptor selama ini. Para koruptor benar-benar dimanja. Dan akibatnya banyak pemimpin di pemerintahan cacat hukum dan cacat moral. Apa jadinya negeri ini ke depan jika roda pemerintahan digerakkan mereka yang tak dapat dipercaya? Atau mungkin semua ini terjadi karena sikap yang tak tepat sekaligus tak arif terhadap koruptor.

Negara ini memang terlalu memanja koruptor. Bayangkan, setiap menyambut hari raya keagamaan dan hari ulang tahun proklamasi, negara selalu memberikan remisi kepada mereka. Kalau "hadiah" potong masa tahanan itu begitu mudah diberikan, lantas apa artinya korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)?

Kalau keadaan di Indonesia seperti ini, masihkah kita berharap korupsi mampu diperangi sampai ke akar-akarnya? Masihkah koruptor terus dimanja?

Pascal Couchepin, Konsuler Federal sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss, pernah memberikan resep untuk jangan memberi respek kepada koruptor. Swiss selama ini selalu dikategorikan Transparency International sebagai negara yang "bersih dari korupsi". Frederic pernah mengatakan bahwa negara yang minimalis dalam menciptakan mekanisme pemberantasan korupsi menjadi penanda negara gagal membentuk peradabannya (Frederic, 2005). Oleh karena itu, mari kita perbaharui bersama negara kita ini, agar Indonesia tidak menghormati dan memanja koruptor lagi.***

Penulis adalah Direktur Langgar Budaya Agama dan Sosial (LABAS) Jawa Tengah.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com

*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*

CLICK Here to Claim your Bonus $10 FREE !
http://adv.justbeenpaid.com/?r=kQSQqbUGUh&p=jsstripler5
.

__,_._,___

ads

Ditulis Oleh : Gadget News and Reviews Hari: 05.06 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar