http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/11/50127/negeri_dramaturgi_korupsi/#.T60_aMVdlgg
Jumat, 11 Mei 2012 00:02 WIB
Negeri Dramaturgi Korupsi
Oleh : Ahmad Arif Ginting.
Sebagai negara kaya yang ditandai sebagai pengekspor 20 persen gas alam dunia, penghasil emas nomor delapan dunia, penghasil cengkeh nomor satu dunia, pendapatan per kapita Indonesia hanya 4.205 dollar Amerika Serikat. Pendapatan itu di bawah Botswana sekitar 13.000 dolar AS. Pada Februari 2012, utang Indonesia Rp 1.844,96 triliun yang berarti setiap warga Indonesia mewarisi utang Rp 7,096 juta. Ini semua karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia nomor 100 dengan nilai 3,0 dari skala 10 di antara 183 negara. Ini pun dinilai baru dari aspek pelayanan publik. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia nomor 100 dengan nilai 3,0 dari skala 10 di antara 183 negara. Ini pun dinilai baru dari aspek pelayanan publik. Lagi-lagi, penyebabnya adalah KKN.
Ironi Justice Collaborator
Ironi tersebut di atas semakin "menemukan momentum"nya dengan dihembuskannya wacana justice collaborator oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bagi Angelina Sondakh, tersangka menerima fee dalam pembahasan anggaran di DPR tentang proyek Wisma Atlet yang berbiaya Rp 191 miliar dan proyek pengadaan alat laboratorium di beberapa perguruan tinggi dengan nilai proyek Rp 600 miliar.
Singkat kata, dengan wacana itu, Angie akan diperlakukan sebagai orang yang berhak atas perlindungan jika mau "buka mulut". Bahkan, ia layak mendapat keringanan hukuman dan juga hadiah (reward), entah apa bentuknya, kalau bekerja sama dengan KPK.
Sontak, wacana itu menjadi kontraproduktif di tengah masyarakat. Dalam catatan wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy (5/5/2012), status kolaborator bagi Angie akan kontraproduktif. Seperti disinyalir berbagai pihak, ia tak mustahil menjadi ajang transaksional karena Angie adalah fungsionaris Partai Demokrat yang diseret ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) setelah M Nazaruddin. Dan, sudah sekitar tiga tahun sejak perang "Cicak vs Buaya", pemberantasan korupsi yang melibatkan pejabat/politisi mengalami stagnasi.
Telah terbukti KPK berulang kali mengalami berbagai hambatan politis/psikologis menjalani proses panjang untuk memaksa Angie jadi tahanan. Sampai kini pun KPK dan pengadilan tipikor belum mampu mengungkap hal yang sederhana: siapakah "Ketua Besar" dan "Bos Besar"? Konfrontasi Angie versus Mindo Rosalina Manulang gagal serta "Apel Malang" dan "Apel Washington" masih tetap misterius.
Entah sudah berapa saksi/tersangka/terpidana yang potensial dijadikan peniup peluit untuk mengungkap skandal-skandal korupsi wisma atlet, Hambalang, dan lain-lain. Namun, semua peluang emas itu tersia-siakan saja. Sederhananya, kalau memang bertekad serius, mengapa bukan Nazaruddin yang diberi status kolaborator? Terlebih lagi Nazaruddin diduga terlibat dalam korupsi sistemik yang nilainya mencapai hampir Rp 7 triliun. Itu sebabnya, wajar wacana kolaborator bagi Angie menimbulkan tanda tanya. Ada pertanyaan apakah pimpinan KPK—yang sempat mengalami kriminalisasi dan diberitakan pecah—mulai menyerah kehilangan semangat melakukan tugasnya?
Status kolaborator bagi Angie juga menimbulkan kesan pemberantasan korupsi yang semestinya sederhana ibarat membalikkan telapak tangan, dibuat jadi berbelit-belit. Tak heran mayoritas masyarakat sudah jenuh dan apatis menyaksikan berbagai akrobat pemberantasan korupsi di negeri ini. Lebih dari itu, panggung pemberantasan korupsi yang dipentaskan di ruang publik kita lebih banyak didominasi akting para politisi yang tak kalah lucu dibandingkan stand up comedy. Nyaris setiap hari kita disuguhi anekdot-anekdot yang kurang mencerdaskan—apalagi membasmi korupsi.
Jangan salah, kolaborator keadilan bukan konsep buruk. Namun, praktik tersebut lebih efektif untuk jenis kejahatan terorganisasi yang teramat sukar diberantas oleh para penegak hukum. Sebab, kejahatan terorganisasi tersebut berlangsung selama puluhan tahun dan sering kali melibatkan aparat, seperti hakim, jaksa, dan polisi. Dan, kejahatan tersebut bersifat multifaceted dan bertali-temali, seperti narkoba, judi, pelacuran, pemerasan, dan penyelundupan.
Berbeda dengan kejahatan korupsi yang melulu dilakukan oleh pejabat/politisi dan bersifat single faceted. Secara teoretis jauh lebih mudah memberantas korupsi selama ada itikad—bukan sekadar retorika atau saling silat lidah saja. Misalnya, kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh jaringan mafia di AS dan Italia. Berhubung sukar, para penegak hukum di kedua negara itu—juga negara-negara lain—mencoba obat mujarab lain yang lebih jitu, yakni kolaborasi keadilan (collaborative justice). Inilah kerja sama, sinergi, dan koordinasi antar- institusi penegak hukum yang dirasa amat kurang di sini.
KPK justru dibentuk karena kerja sama, sinergi, dan koordinasi institusi-institusi penegak hukum—terutama polisi dan jaksa—kurang berjalan sebagaimana semestinya. Kolaborasi keadilan juga melibatkan berbagai unsur masyarakat—termasuk pers, aktivis, akademisi, sampai organisasi-organisasi kemasyarakatan dan agama—membantu pemberantasan mafia. Di sini, masyarakat hanya dianggap seperti obat nyamuk yang kurang layak didengar.
Negeri Dramaturgi
Dr. Gunarto M.Hum (2011) menegaskan, disparitas hukum atau alienasi hukum dari konteks realitas kepentingan sosial seperti yang telah terjadi selama ini merefleksikan tumbuhnya dua kecenderungan hukum yang berkembang. Pertama, simplifikasi dan subordinasi konstruksi hukum ke dalam perangkat perundang-undangan. Hal tersebut menyebabkan runtuhnya keagungan nilai-nilai hukum menjadi sebatas pasal perundang-undangan yang statis dan tertutup serta tidak memiliki ruh.
Kedua, kecenderungan industrilisasi hukum. Kecenderungan ini menempatkan hukum tak ubahnya bagai komoditas yang bisa menghasilkan kepentingan ekonomis melalui pertukaran jasa perkara. Industrialisasi hokum merupakan kelanjutan dari penempatan hukum sebagai instrument penghukuman dan pembenaran. Jika hokum selama ini dipersepsikan sebagai proteksi bagi keadilan dan kebenaran, maka dalam industrialiasi hukum, perangkat perundang-undangan ditempatkan sebagai legitimasi bagi kepentingan menghukum atau membebaskan seseorang.
Kita sudah terlalu sering menyaksikan berbagai ulah yang heboh yang dilakoni para pejabat/politisi sebagai fakta ril daripada hukum yang teralienasi. Mereka tak kenal lelah gonta-ganti skrip setiap pekan guna mengalihkan perhatian dari masalah sesungguhnya: pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi hanyalah dramaturgi yang tak kunjung selesai sampai 2014. Atau bahkan lebih lama lagi.
Adalah Erving Goffman yang memperkenalkan pertama sekali istilah dramaturgi dalam kajian sosial-psikologi-sosiologi memalui bukunya, "The Presentation of Self In Everyday Life". Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada kesepakatan perilaku yang disetujui sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud insteraksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok tertentu.
Hal ini jhelas terlihat pada kasus korupsi, dimana koruptor menjalankan perannya di lingkungan mereka yang sarat manipulative. Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaan fisik dan perilaku actual serta gerak agar perilaku menyimpang yang sedang mereka jalani tidak dapat terendus oleh lingkungan mereka. Karena mereka mengerti bahwa kedudukan yang melekat pada dirinya semata-mata demi kepentingan publik hanya menjadi domain kepentingan pribadi.
Dengan begitu, sang koruptor tak jarang dapat berperan ganda; bisa berwatak baik dan buruk. Atau malah bisa berdasa muka. Berperilaku "baik" merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan jabatan publik yang dikehendakinya. Baik itu melalui legitimasi politik, pendidikan atau sosial. Ekonomi yang dikemas sedemikian rupa agar tampil sebagai sosok yang peduli atau memiliki integritas pengabdian, jujur dan berani. Jangan terkecoh, itu hanya tipu muslihat tuntutan peran agar dapat melanggengkan tujuan awal menduduki posisi. Waspadalah…! ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial, pemilik RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Ac
[Non-text portions of this message have been removed]
Kunjungi situs INTI-net
http://groups.yahoo.com/group/inti-net
Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/
Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com
*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
0 komentar:
Posting Komentar