Rabu, 02 Mei 2012

[inti-net] Pungli Trilyunan di Industri Pelayaran - Berdalih Pemeriksaan Berujung Denda

 

Pungli Trilyunan di Industri Pelayaran
Thursday, 03 May 2012 01:50

Salah satu biang ekonomi biaya tinggi distribusi logistik adalah pungutan liar. Infrastruktur pelabuhan yang buruk, kurangnya sarana penunjang pelabuhan, hingga sistem pelayanan yang belum terpadu memperburuk kondisi. Dana ilegal yang terhimpun mencapai trilyunan rupiah per tahun. Mengapa kita tidak memiliki lembaga sea and coast guard? ---

Bagi kapal-kapal pelayaran rakyat, keluar dari area Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, bukan berarti urusan sudah beres. Embusan angin, guncangan ombak, dan hamparan laut yang seolah tidak bertepi masih menyisakan teka-teki besar.

Harapan sampai ke pelabuhan tujuan tepat waktu dan bebas hambatan menjadi sebuah pertaruhan. "Yah, begitulah, seperti liku-liku sebuah perjalanan. Kalau bukan ancaman badai dan gelombang laut, ya, kapal diberhentikan di tengah laut," kata seorang pelaut yang biasa membawa kapal ke pelabuhan-pelabuhan yang ada di kawasan barat. Biasanya, menurut pelaut yang tidak mau disebutkan namanya itu, aksi tersebut melibatkan oknum polairud, Angkatan Laut, serta petugas yang berwenang dan beroperasi di laut.

Mereka tidak sungkan menghentikan kapal ketika sedang berlayar dan langsung melakukan pemeriksaan. Setelah itu, ungkap pria yang lahir dan tumbuh di kawasan Sunda Kelapa itu, jika ada kesalahan, akan muncul negosiasi untuk menyelesaikan masalah itu.

Apakah benar ada jenis operasi seperti itu? Abdul Kadir Jaelani, anggota Dewan Pembina DPP Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra), membenarkan aksi seperti itu. ''Kalau negosiasinya tidak selesai di tengah laut, kami biasanya dibawa ke pangkalan mereka,'' kata Jaelani. Bahkan kadang-kadang, dalam sekali perjalanan yang makan waktu tiga hingga empat hari, sebuah kapal bisa diperiksa dan dikenai denda oleh petugas berbeda.

''Yang kayak gitu sudah biasa,'' tutur Jaelani. Selain diperiksa masa berlaku surat izin berlayarnya, kelengkapan prasyarat administrasi untuk nakhoda kapal juga diminta. Padahal, para kru kapal sudah cukup memiliki sertifikat mualim pelayaran rakyat dan juru motor pelayaran rakyat.

Kejadian itu baru secuil adegan dari episode panjang tidak efektif dan tidak efesiennya pengangkutan barang melalui laut. Terhambatnya akses masuk kapal ke pelabuhan itu, menurut Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowners' Association (INSA), Carmelita Hartoto, bisa dipicu banyak hal. Dari infrastruktur pelabuhan yang buruk, kurangnya sarana penunjang seperti crane, gudang, dan dermaga, hingga sistem pelayanan yang belum terpadu, online, serta terkomputerisasi. Sebagai contoh, kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Dumai yang tidak bisa buka 24 jam. Ini bisa membuat kapal terpaksa menunggu hingga tujuh hari lebih.

Hal itu, menurut Carmelita, menjadi salah satu faktor yang membuat ongkos transportasi laut menjadi mahal. Biaya tambahan itu akhirnya membuat tarif pengiriman barang tambah besar dan barang yang didistribusikan ke wilayah pedalaman menjadi selangit harganya. "Jadi, masyarakat perlu tahu bahwa hambatan dalam pengangkutan logistik akan membuat barang-barang di pulau-pulau terpencil harganya naik dan menekan daya beli mereka," katanya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo), Toto Dirgantoro menyatakan, jika denda yang muncul karena ada pelanggaran, tidak masuk kategori pungli karena landasan hukumnya jelas. "Sedangkan pungli di sektor pelayaran tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dan hal tersebut bisa terjadi di pelabuhan dan di laut," kata Toto kepada Fitri Kumalasari dari GATRA.

Toh, Toto menilai, ada perbedaan antara pungli dan ''biaya pelancaran''. Dalam pungli itu ada unsur pemaksaan. ''Kalau lu tidak kasih, gua nggak akan proses,'' ujarnya. Sedangkan biaya pelancaran, menurut Toto, barang akan lebih cepat diproses asalkan ada biaya ekstra, meskipun sifatnya tidak mengikat dan memaksa. Oleh sebab itu, persoalan pungli harus dilihat faktanya di lapangan.

Toto melihat, terkadang petugas ekspedisi muatan kapal laut yang justru bermain. Petugas itu memang mengeluarkan biaya ekstra Rp 50.000, tetapi melapor ke kantornya telah terkena pungli hingga Rp 500.000. "Maka, harus ada bukti dan data kuat, apakah tambahan biaya itu telah membuat ekonomi biaya tinggi di industri pelayaran," paparnya.

Menanggapi masih maraknya pungli di pelabuhan itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Bambang S. Ervan, menyatakan perlu dilacak lebih jauh penyebabnya. ''Kalau benar memang ada pungli, ya, dilaporkan saja, sehingga Kemenhub bisa mengambil tindakan terhadap lembaga di bawahnya,'' kata Ervan kepada Hayati Nupus dari GATRA. Namun melaporkan pungli di laut tidak semudah yang diomongkan, karena minimnya saksi dan tidak adanya badan khusus tempat mengadu.

Keberadaan KPLP atau Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, papar Ervan, untuk memastikan implementasi International Ship and Port Security Code berjalan baik. Bambang mengakui bahwa dalam penegakan peraturan pelayaran, banyak insitutusi yang terlibat, seperti polisi air dan udara, KPLP, Bea Cukai, dan syahbandar. Masing-masing instansi merasa berhak melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan undang-undang.

Terkait kurangnya infrastruktur dan sistem pelayanan di pelabuhan, menurut Bambang, pihak Kemenhub tidak tinggal diam. Selain mengembangkan fasilitas di berbagai pelabuhan, sejumlah pelabuhan telah menerapkan sistem pelacakan dokumen secara online, yaitu: Indonesian Single Window. Salah satu pelabuhan yang telah mengimplementasikannya adalah Tanjung Priok, yang dioperasikan oleh Pelindo II.

Menurut Direktur Utama Pelindo II, R.J. Lino, penerapan sistem secara online itu telah ikut menekan pungli. "Namun, jika pungli masih ada, hal itu tidak bisa dimungkiri karena pungli itu modusnya bermacam-macam dan stakeholder di pelabuhan begitu banyak," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA. Pelayanan publik yang diberikan di Pelabuhan Tanjung Priok juga semakin baik, seperti hasil penilaian KPK yang menempatkan Tanjung Priok di posisi kelima instansi terbersih dari korupsi pada 2011.

Indikator positif lainnya adalah peningkatan arus bongkat muat dari 3,7 juta TEUs pada 2008 menjadi 6 juta TEUs pada 2011. Lalu volume kontainer dari dan ke Tanjung Priok yang transhipment di Singapura, Tanjung Pelepas, dan Port Klang, yang pada 2008 mencapai 70%, pada 2011 menjadi kurang dari 18%.

Untuk menghindari munculnya tumpang tindih atau pemeriksaan berulang kali terhadap kapal yang berlayar, idealnya pemeriksaan dilakukan sejumlah instansi secara bersama-sama di pelabuhan. Dengan demikian, jika telah memenuhi persyaratan, kapal itu tidak perlu lagi dicegat dan diperiksa di tengah laut. Ironisnya, sebagai negara kepulauan, Indonesia belum memiliki institusi tunggal satu komando dan multitasking seperti badan penjaga laut dan pantai (sea and coast guard) yang telah terbentuk di banyak negara. (G.A. Guritno, Haris Firdaus dan Birny Birdieni)

(Laporan Utama Majalah GATRA edisi 18/26, terbit Kamis, 3 Mei 2012)

Berdalih Pemeriksaan Berujung Denda
Thursday, 03 May 2012 01:50
"Pungutan liar" alias pungli di industri pelayaran, menurut Sekjen DPP Pelra, Abdul Rasyid Gani, bisa menguras kocek industri pelayaran. ''Satu kasus bisa sampai puluhan juta dendanya. Tapi semua itu tergantung negosiasi,'' ungkapnya. Denda itu tidak hanya ditanggung pemilik kapal, melainkan juga para anak buah kapal (ABK). Dalam pelayaran rakyat, Jaelani menambahkan, total pendapatan dari kapal dibagi tiga, yakni: untuk operasional/pemeliharaan kapal, pemilik kapal, dan ABK. ''Pungli itu pasti mengurangi pendapatan pemilik kapal dan ABK,'' katanya.

Selain memangkas pendapatan, pemeriksaan di tengah laut juga memperlambat pengiriman barang, sehingga pemilik barang ikut dirugikan. Yang aneh, pemeriksaan yang berujung pungli itu hanya menimpa kapal-kapal nasional. ''Kapal asing tidak diperiksa karena berdasarkan aturan internasional, yang boleh memeriksa kapal di laut itu hanya coast guard,'' papar Jaelani.

Modus pemeriksaan yang berlanjut pada penahanan dan berakhir dengan ''denda'' itu ternyata juga dialami sejumlah operator pelayaran niaga yang mengoperasikan kapal-kapal motor berbobot 600 GT lebih. Bila apes dan berkali-kali dihentikan, dalam setahun sebuah kapal bisa membayar rata-rata Rp 50 juta. ''Itu ditanggung pihak pemilik pelayaran kapal niaga,'' kata salah satu petinggi perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kurang dari setengah lusin kapal pengangkut kontainer dan bulk.

Jika jumlah kapal pelayaran niaganya mencapai 10.191 kapal, dalam setahun nilai uang yang tersedot secara ilegal itu bisa mencapai Rp 5,4 trilyun. Angka sebesar itu akan makin membengkak jika ditambah dengan pungli yang menimpa kapal niaga menengah yang beratnya di bawah 500 GT. Kapal pelra yang jumlahnya mencapai 3.000 kapal itulah, menurut Jaelani, yang paling sering terkena aksi pungli di lepas pantai.

Keadaan yang memberatkan pengusaha kapal pelayaran niaga nasional ini jelas membuat ongkos operasional perjalanan kapal membengkak. Biaya-biaya yang tidak perlu itu akhirnya membebani pemilik barang dan konsumen, karena semua kelebihan ongkos distribusi logistik akan membuat harga barang ikut terkerek naik. (GAG)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com


*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
.

__,_._,___

ads

Ditulis Oleh : Gadget News and Reviews Hari: 19.13 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar