http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/12/50297/rezim_otoriter_baru_penanganan_konflik/#.T7ALf8Vdlgg
Sabtu, 12 Mei 2012 00:01 WIB
Rezim Otoriter Baru Penanganan Konflik
Oleh : Khalid SH. M.Hum.
Banyak definisi yang digunakan untuk mengartikan makna konflik sosial, namun tidak banyak solusi kongkret yang ditawarkan guna mencegah konflik itu terjadi.
Setelah disahkannya UU Penanganan Konflik Sosial oleh DPR pada tanggal 11 April lalu yang diharapkan mampu menangani konflik yang kerap terjadi di negeri ini, kini banyak menuai protes dari lembaga-lembaga kemanusiaan dan publik. Pasalnya UU ini kerap disalahgunakan oleh penguasa. Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam UU ini, salah satunya adalah kewenangan pemerintah daerah menggunakan kekuatan TNI untuk mengatasi konflik sosial.
Produk inisiatif DPR ini semakin menandakan bahwa negara masih berada dan tergantung pada TNI dalam menyelesaikan konflik sosial, UU ini juga sarat dengan kekuasaan otoriter yang hanya mementingkan penyelesaian konflik secara represif dengan kekuatan TNI bukannya preventif dengan pendekatan yang lebih populis menengahi konflik di negara ini yang dapat terjadi dengan banyak sebab dan kriteria.
Harus ada pengelompokan kriteria jelas mengenai sebab-sebab konflik, sehingga menuntut penyelesaian yang berbeda pula. Tidak menggunakan TNI yang lebih bersifat penangkal serangan atau pasukan serbu. Konflik sosial lebih kepada kesalahpahaman antar individu ataupun kelompok yang masih dapat didamaikan dengan pendekatan populis dan musyawarah.
Pendekatan UU PKS jelas memberikan celah bagi penguasa baik pusat maupun daerah berkuasa besar menentukan dan mendefinisikan konflik secara diskresi yang berujung pada banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pada era orde baru, pemerintah juga menggunakan kekuatan TNI sebagai penangkal konflik-konflik daerah dengan program ABRI masuk desa, sehingga gejala-gejala kecil terus diredam. Di era demokrasi tindakan seperti ini tidak dapat diterakan karena melanggar semangat demokrasi dimana rakyat bebas menyatakan pendapat. UU ini rentan dijadikan landasan hukum guna menerapkan ide serupa seperti era orde baru.
Kontras salah satu LSM juga menyatakan bahwa UU PKS ini bisa digunakan sebagai alat mobilisasi suara dengan menciptakan kerusuhan di daerah-daerah dan menanganinya secara militer.
Konflik Sosial Bukan Perang
Penanganan konflik oleh TNI mengingatkan kita pada beberapa kasus yang masih membekas di ingatan yaitu Tragedi Santa Cruz dan Operasi Militer di Aceh yang penyelesaiannya banyak menuai kecaman internasional karena mengabaikan prinsip kemanusiaan.
Polisi sebagai satuan penjaga keamanan dalam negeri juga seperti kehilangan porsi tugasnya karena ketidakpercayaan pemerintah terhadap kinerjanya dan lebih menggunakan TNI yang dianggap lebih efisien dan cepat dalam menangani konflik. Padahal konflik bisa terjadi karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar terkait kenaikan harga BBM dibeberapa wilayah. Demonstrasi ini dapat saja dikategorikan konflik sosial dan pemerintah bisa saja menjadikan demonstrasi sebagai salah satu konflik sehingga memberikan legitimasi bahwa pemerintah dapat menggunakan TNI dalam menangani masalah tersebut.
Walaupun beberapa poin krusial telah dihapus, seperti kewenangan forum koordinasi pimpinan daerah untuk mengerahkan TNI dihapus namun tidak serta merta menghilangkan kewenangan pusat mengerahkan kekuat an TNI guna menangani konflik.
UU No 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya, juga seperti terlahir kembali pada UU PKS ini, seperti susunan UU yang lebih dahulu membicarakan mengenai penanganan yang dilakukan oleh TNI dari pada aspek-aspek lain penyebab konflik terjadi.
Kebijakan ini lagi-lagi menjadikan TNI dilema, karena pada hakikatnya TNI merupakan bagian dari rakyat dan bertugas menjaga rakyat agar merasa aman, kini beralih tugas menjadi "Hantu" yang selalu menakuti rakyat dan membuat ketidaknyamanan itu sendiri lahir di tengah masyarakat.
Aspek HAM seharusnya lebih diutamakan pada setiap produk yang berkaitan dengan penggunaan TNI di dalam negeri. Berbeda konteks jika peperangan terjadi karena hal ini telah diatur oleh konvensi-konvensi PBB dan hukum Humaniter terkait bolehnya membunuh lawan perang yang menggunakan senjata. Lain hal dengan konflik internal yang harus melalui banyak prosedur seperti syarat-syarat dalam Protokol tambahan ke-2 1977 dan pasal 3 Konvensi Genewa 1949 tentang Non-International Armed Conflict (konflik dalam negeri) yang dibuat oleh PBB.
Rezim otoriter telah lahir di era demokrasi yang dapat mengancam semangat reformasi 1998, untuk itu penulis mengharapkan seluruh elemen masyarakat untuk cermat.***
Penulis Adalah Dosen Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara
[Non-text portions of this message have been removed]
Kunjungi situs INTI-net
http://groups.yahoo.com/group/inti-net
Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/
Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com
*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
http://adv.justbeenpaid.com/?r=kQSQqbUGUh&p=jsstripler5
0 komentar:
Posting Komentar