Rabu, 02 Mei 2012

[inti-net] Mereka Bersekolah di Kolong Rumah - Kesempatan Belajar Timpang

 

Mereka Bersekolah di Kolong Rumah
Abdul Haq | Kistyarini | Rabu, 2 Mei 2012 | 11:50 WIB
KOMPAS.com/ABDUL HAQ Para siswa kelas jauh SDN 237 Tellongeng Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan berdiri di depan rumah yang kolongnya dijadikan ruang kelas mereka , Rabu,(2/5/2012)
KOMPAS.com/ABDUL HAQ Puluhan murid kelas jauh SDN 237 Tellongeng, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, belajar di kolong rumah dengan kondisi yang memperihatunkan, Rabu,(2/5/2012)

BONE.KOMPAS.com — Puluhan murid kelas jauh SDN 237 Tellongeng, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, harus belajar di kolong rumah warga dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Kolong rumah yang dibagi menjadi tiga ruang ini harus diisi oleh murid dengan cara digabung. Satu ruangan diisi oleh dua kelas secara bersamaan dan diajar oleh satu guru. Para murid ini merupakan anak para pekerja penggarap perkebunan tebu PTPN XIV di pedalaman Kecamatan Mare.

Sekolah ini hanya diajar oleh tiga tenaga pendidik. Satu orang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan dua lainnya merupakan tenaga honorer.

"Hanya tiga ruangan saja. Satu kelas itu digabung. Kelas I dan kelas II satu ruangan belajarnya juga bersamaan," ujar Syarifuddin, salah seorang guru honorer setempat.

Selain kondisi sekolah yang terkesan jorok, beralaskan tanah dan gelap tanpa alat penerang, para siswa pada umumnya hanya mengenakan seragam seadanya, bahkan banyak yang tidak mengenakan alas kaki.

Tentunya kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi orangtua murid. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. "Yah, mau diapakan? Memang begitu kondisinya karena tidak ada sekolah lain. Ada, tetapi jauh sekali," ujar Hajrah, orangtua salah satu siswa yang tinggal tak jauh dari sekolah darurat itu.

http://www.shnews.co/detile-1279-kesempatan-belajar-timpang.html

Kesempatan Belajar Timpang
Natalia Santi | Rabu, 02 Mei 2012 - 15:32:26 WIB

(dok/antara)Pendidikan di 200-an daerah tertinggal di Indonesia masih jadi barang mewah.

JAKARTA - Guru berkualitas dan metode mengajar yang tepat adalah barang mewah di daerah-daerah tertinggal. Sulit sekali mendapatkan guru yang baik, apalagi metode yang tepat di wilayah yang masih sulit dijangkau. Sementara itu, ada 200-an daerah tertinggal di Nusantara.

"Akibatnya, pendidikan di daerah-daerah tertinggal hancur dan itu menyedihkan sekali," kata Profesor Yohanes Surya kepada SH di Tangerang, Banten, Senin (30/4). Karena itu, "penyamarataan kesempatan belajar" sangat penting.

Menurut pendiri Surya Institute ini, tak perlu jauh-jauh sampai ke Papua untuk melihat ketimpangan kesempatan belajar. Kondisi itu juga terjadi di pinggiran kota, termasuk Tangerang. "Kesempatan belajar dari guru-guru yang baik itu sedikit karena guru yang berkualitas nggak banyak jumlahnya," kata Prof Yo, begitu dia akrab disapa.

Bicara soal pendidikan, pemerintah perlu membenahi para tenaga pengajar. "Kalau gurunya bagus, barulah kita bisa mengatakan telah memberikan pendidikan yang baik kepada anak," kata doktor fisika yang mengharumkan nama Indonesia melalui Olimpiade fisika dengan semboyan "Go Get Gold" ini.

Dia mengakui beberapa sekolah di kota memiliki guru berkualitas sehingga menghasilkan anak-anak yang mumpuni dalam pendidikan. "Namun, banyak juga sekolah yang gurunya asal-asalan saja. Jadi, saya pikir pemerintah harus benar-benar memperhatikan kualitas guru," ujar dia.

Cara konkret mengatasi masalah ini, menurut Prof Yo, adalah dengan meningkatkan kemampuan tenaga pengajar. "Bagaimana mereka mengajar, bagaimana konten, itu penting," ungkapnya.

Lebih jauh, Prof Yo mengatakan, Indonesia punya potensi yang sangat besar. Pemerintah perlu juga memperhatikan potensi anak-anak berbakat. Anak-anak berbakat ini harus disentuh dengan sentuhan khusus baru bisa berkembang menjadi sangat optimal. "Jadi ada anak yang sangat berbakat yang belum tersentuh, ada anak yang sangat tertinggal yang belum tersentuh. Dua hal ekstrem ini yang perlu kita benahi," ujarnya.

Bencana Demografi

Mau tidak mau, harus diakui masalah Indonesia selalu terkait kualitas sumber daya manusia. Sekarang Indonesia tengah memasuki masa meningkatnya usia produktif 15-64 tahun yang disebut bonus demografi. Bonus ini hanya terjadi sampai tahun 2035. Dengan gambaran kualitas seperti itu, jika dibiarkan justru yang terjadi bencana demografi (disaster demografi). Kekerasan marak, tenaga kerja murah, pengangguran yang akhirnya penduduk menjadi beban negara.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, perlunya mempersiapkan generasi mendatang yang berkualitas, terutama pada usia 0-19 tahun yang disebut sebagai genarasi emas. "Usia 0-19 tahun adalah usia emas. Akan luar biasa efeknya kalau dipersiapkan sejak sekarang kalau ingin membangun generasi berkualitas," kata Nuh saat memperingati Hari Pendidikan Nasional di Jakarta, hari ini (2/5).

Nuh menegaskan, usia 0-19 tahun sekarang yang akan menjadi pemimpin pada masa 2045, saat 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, mempersiapkan generasi diumpamakan seperti menyediakan gerbong yang mengalir tidak pernah berhenti mengalir.

Untuk mencapai itu, Mendikbud mengatakan sudah mempersiapkan percepatan menuju gelombang generasi emas dengan Pendidikan Menengah Universal mencakup SMA, MA, SMK. Melalui kebijakan percepatan, tahun 2020 Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah menengah mencapai 97 persen.

Tanpa adanya percepatan APK, 97 persen itu baru bisa terjadi tahun 2040. "Tahun 2020, tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Kami sudah mempersiapkan grand design tidak hanya global, bahkan bagaimana pencapaian target itu secara detail hingga per kecamatan," kata dia.

Dijanjikan akses seluas-luasnya akan dibuka bagi semua masyarakat untuk mencapai pendidikan menengah universal. Pemerintah memfasilitasi semua anak usia sekolah mulai dengan gerakan Paudisasi, pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah sudah siap mengucurkan dana besar-besaran untuk menanggung biaya pendidikan. Pembangunan ruang kelas baru, gedung sekolah baru, pengadaan guru menjadi skenario prioritas.

Namun Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Muhammad Abduhzen mengingatkan, mudah bagi pemerintah membuat rencana jangka panjang pendidikan dengan serangkaian target kuantitatif. Namun yang menjadi prioritas seharusnya bagaimana mengisi sistem pendidikan yang benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berangkat dari nilai budaya nasional.

Realitanya, sistem pendidikan nasional jauh dari kebutuhan masyarakat, melenceng dari visi tokoh Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan yang terbentuk adalah pendidikan yang menyebabkan ketergantungan, tidak memandirikan. Sulit mencapai manusia berkualitas dengan sistem pendidikan yang ada.

Dia merujuk sejumlah kebijakan pendidikan yang kontraproduktif dengan tujuan mulai membentuk masyarakat cerdas, mandiri, berkualitas, dan berkarakter. Nyatanya, kebijakan pemerintah hanya berkutat pada Ujian Nasional (UN) yang pelaksanaannya karut marut, RSBI yang mengkotakkan masyarakat atas kasta sosial, sertifikasi yang tidak berujung pada peningkatan kompetensi.

Pemerintah membuat kurikulum berbasis kompetensi, yang memberi otonomi pada guru dan sekolah untuk membuat silabus, namun di sisi lain ada kebijakan UN yang sentralistik. "Target kuantitatif yang dibuat Kemdikbud seharusnya berimbang dengan pembentukan kualitas. Ini sangat terkait dengan sistem pendidikan yang dibangun," kata Abduhzen yang juga Ketua Balitbang Persatuan Guru Republik Indonesia.

Pencitraan

Anggota Komisi X DPR, Raihan Iskandar juga menegaskan janji pemerintah untuk menerapkan pendidikan menengah universal jangan hanya sekadar pidato dan komitmen. In karena sampai sekarang, kenyataannya masih banyak anak bangsa yang belum menikmati akses seluas-luasnya untuk memasuki dunia pendidikan.

"Masih sedikit anak bangsa yang menikmati pendidikan yang bermutu. Ironisnya, keterbatasan akses itu justru dihambat oleh kebijakan pemerintah sendiri yang membuat sekat-sekat sosial melalui stratifikasi sekolah, misalnya sekolah RSBI dan non-RSBI," kata Raihan.

Sementara itu, masih banyak anak bangsa yang tidak bisa menikmati bangku kuliah perguruan tinggi. Biaya kuliah yang semakin mahal, semakin menutup peluang bagi masyarakat tidak mampu untuk duduk di bangku kuliah. "Jangan sampai peringatan Hardiknas setiap 2 Mei ini hanya bersifat rutinitas dan menjadi ajang pencitraan yang bersifat politis," tegas dia.

Lebih lanjut, Abduhzen menekankan pendidikan adalah episentrum kehidupan. Karena itu, pendidikan jangan sampai disfungsional. Rancangan pendidikan tidak hanya sekadar membuat anak bersekolah, tapi juga harus menghasilkan generasi berkualitas.(Albertina S Calemens)

(Sinar)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
Gabung di milis INTI-net, kirim email ke : inti-net-subscribe@yahoogroups.com

Kunjungi situs INTI-net   
http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/

Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com


*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
.

__,_._,___

ads

Ditulis Oleh : Gadget News and Reviews Hari: 19.12 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar