Refl: Jika Allah itu hebat dan paling mahakuasa, mengapa tidak berani berhadapan dalam argumentasi yang dianggap konterversial? Hendaklah dipahami bahwa kepercayaan tidak membutuhkan kebenaran.
http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/05/13/ArticleHtmls/Mendamaikan-Iman-dan-Kebebasan-13052012017003.shtml?Mode=0#
Mendamaikan Iman dan Kebebasan
Pemikiran Irshad memberi kontribusi yang tidak kecil bagi diskursus keagamaan.
Tradisi akademik di Indonesia kembali tercoreng. Ruang dialog yang digagas se jumlah lembaga atas pelun curan buku terbaru Irshad Manji, Allah, Liberty and Love, batal terlaksana akibat represi sejumlah kelompok massa. Mereka menilai Irshad sebagai tokoh subversif lantaran bukunya mengusik norma yang menjadi fondasi umat Islam.
Dia juga dianggap mempropagandakan homoseksualitas.
Irshad memang seorang lesbian.
Dan ia mengakui hal itu. Tapi buku yang baru saja diluncurkan ini tidaklah mempropagandakan pilihannya atas orientasi seksual. Buku keduanya ini sejatinya tengah mengajak umat Islam membuka kembali gerbang ijtihad guna menjawab persoalan-persoalan aktual dunia Islam kontemporer.
Menurut pengertiannya, ijtihad merupakan usaha sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak ditemukan tuntunannya dalam nash (Al-Quran maupun hadis/sabda Nabi). Instrumen penafsiran itu mengandalkan akal sehat dan pertimbangan yang matang dengan mengedepankan asas manfaat dan kemaslahatan umat manusia. Sebagian ulama berpendapat, usaha itu hanya boleh dilakukan oleh para ahli agama Islam.
Tapi Irshad punya posisi yang tegas. Menurut dia, kewenangan ijtihad bukanlah semata otoritas kalangan ulama dan akademisi. Elitisme seperti itu harus ditolak karena akan menanamkan pola kepatuhan buta, yang memaksa seseorang menerima produk penafsiran laiknya sebuah dogma. Tafsir atas problem dunia Islam pada dasarnya terbuka bagi siapa pun. Sebab, setiap individu dianugerahi kebebasan berpikir dan berdaulat penuh untuk memaknai dunianya.
Dalam buku Allah, Liberty and Love, ijtihadnya berusaha mendamaikan antara problem iman dan kebebasan. Sebuah gagasan teologi inklusif yang membebaskan individu dari cengkeraman dogma tentang berbagai persoalan, seperti perkawinan antaragama, penggunaan hijab, atau kekerasan atas nama agama. Dogma yang direproduksi atas nama agama, meski sebenarnya merupakan soal identitas, budaya, maupun kehormatan keluarga.
Memang, pemahaman identitas keagamaan membuat sebagian pemeluk agama menegasikan keberadaan liyan (yang lainnya) dalam relasi koeksistensial. Seseorang de ngan identitas berbeda acap kali mereka letakkan berseberangan: kami muslim, dan siapa pun yang berseberangan dengan pandangan kami adalah kafir, dan karenanya harus dimusnahkan. Konsep yang, menurut Irshad, ikut melahirkan ashabiyah (kesukuan) Islam.
Sejarah pernah mencatat saat cendekiawan Andalusia abad ke11, Ibnu Bajjah, dituduh menyebarkan ajaran sesat tentang "inteligensia aktif". Rezim penguasa kala itu menganggap pemikirannya mengganggu tertib sosial dan menggoyang otoritas ulama. Ia dianggap melakukan bidah, dan karenanya harus dipenjara. Stempel itu jugalah yang hingga kini dilekatkan bagi setiap pemikiran yang berseberangan dengan ajaran arus utama.
Risiko atas pemikiran Irshad tidak kalah serius. Sejak buku pertamanya, The Trouble with Islam Today (Beriman Tanpa Rasa Takut), diterbitkan pada 2004, sejumlah ancaman pembunuhan datang menghampirinya dari berbagai belahan dunia. Namun, bagi sebagian yang lain, ia justru dianggap sebagai seorang reformis muslim yang berhasil mendobrak sikap jumud atas berbagai persoalan dunia Islam.
Sebagai muslim yang tumbuh di lingkungan pendidikan Barat, corak pemikiran Irshad terlihat cukup liberal. Argumennya kritis dan kadang disisipi humor. Namun sa yang, di beberapa bagian, kritik yang ia ajukan terdengar janggal.Melompat pada sebuah kesimpulan yang tidak didukung dengan premis yang lengkap. Bahkan dikemas dalam bentuk kritik yang sarkastik. Seperti saat menyimpulkan: "....Inilah alasan mengapa wanita harus menutupi rambutnya dan terkadang seluruh tubuh mereka. Mereka mengimbangi kekurangan pria yang mengabaikan tuntunan AlQuran untuk menurunkan pandangan mereka di hadapan wanita. Ini pula alasan mengapa wanita tidak diperkenankan memimpin salat berjamaah; para pria tidak akan kuat menahan diri saat memandang bagian belakang tubuh wanita...."
(hlm. 161) Lepas dari pro-kontra yang muncul, pemikiran Irshad memberi kontribusi yang tidak kecil bagi diskursus keagamaan. Lewatnya, kita diajak membuka kembali ruang diskusi akan berbagai persoalan yang selama ini dianggap tabu. Reaksi kekerasan atas pandangannya bukanlah sikap yang patut. Sikap kontra yang muncul hendaklah dijawab dengan tradisi intelektual: lewat forum diskusi atau buku tandingan. Lalu, biarkanlah kebenaran mencari jalannya sendiri.
RIKY FERDIANTO
[Non-text portions of this message have been removed]
Kunjungi situs INTI-net
http://groups.yahoo.com/group/inti-net
Kunjungi Blog INTI-net
http://tionghoanet.blogspot.com/
http://tionghoanets.blogspot.com/
Tulisan ini direlay di beberapa Blog :
http://jakartametronews.blogspot.com/
http://jakartapost.blogspot.com
http://indonesiaupdates.blogspot.com
*Mohon tidak menyinggung perasaan, bebas tapi sopan, tidak memposting iklan*
http://adv.justbeenpaid.com/?r=kQSQqbUGUh&p=jsstripler5
0 komentar:
Posting Komentar